Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri, Perceraian karena keputusan Pengadilan Agama/Negeri dapat terjadi karena talak atau gugatan perceraian serta telah cukup adanya alasan yang ditentukan oleh undang-undang setelah tidak berhasil didamaikan antara suami-isteri tersebut (Pasal 114, Pasal 115 dan Pasal 116 KHI).Pasal 114 KHI menjelaskan bahwa perceraian bagi umat Islam dapat terjadi karena adanya permohonan talak dari pihak suami atau yang biasa disebut dengan cerai talak ataupun berdasarkan gugatan dari pihak istri atau yang biasa disebut dengan cerai gugat.Alasan-alasan perceraian ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;Antara suami dan istri terus-menerus terjadi pertengkaran dan perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.Suami melanggar taklik talak;Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.B. Jenis Upaya Hukum Terhadap Putusan PengadilanSistem Peradilan Indonesia mengenal beberapa jenis upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan. Upaya hukum dilakukan oleh salah satu pihak yang berperkara dimana pihak tersebut merasa tidak puas dengan putusan hakim yang mengadili perkaranya. Adapun tujuan dilakukaknnya upaya hukum adalah mengoreksi serta meluruskan kesalahan yang dilakukan oleh hakim melalui putusannya.Upaya hukum dalam sistem peradilan ada dua jenis, yakni upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa dan masing – masing terdiri dari beberapa jenis upaya yang hukum yang berbeda.Upaya hukum hukum biasa baik pidana atau perdata dimulai dari Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara), Pengadilan Banding (Pengadilan Tinggi yang ada di setiap Propinsi) dan Kasasi (Mahkamah Agung di Medan Merdeka Utara Jakarta), sedangkan upaya hukum luar biasa adalah mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.C. Peninjuan Kembali (PK)Upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali (request civil) merupakan suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inracht van gewijsde), bisa dikoreksi kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).Peninjauan Kembali berlaku pada semua perkara, baik perdata (termasuk perkawinan dan perceraian) maupun pidana. Akan tetapi, meskipun pihak berperkara mengajukan Peninjauan Kembali, pada Pasal 66 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 (telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009) tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa: “Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan”.Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dapat dirubah, apalagi dibatalkan. Akan tetapi dalam kenyataan tidak mustahil putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut mengandung suatu cacat hukum yang sebelumnya tidak diketahui oleh majelis hakim yang memeriksa perkara, baik pada pengadilan tingkat pertama, tingkat banding atau tingkat kasasi dengan alasan majelis hakim mungkin tidak dapat menembus kebenaran secara hakiki; hakim bisa saja dibohongi oleh saksi-saksi pada saat pemeriksaan sidang, padahal saksi-saksi tersebut merupakan kunci penentuan suatu keputusan. Oleh karena itulah ada Upaya Hukum dalam Hukum formil yang secara substansi merupakan salah satu upaya dari penegakan hukum.Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan peninjauan kembali (PK) kasus perdata harus dibatasi. Namun untuk kasus pidana, Peninjauan Kembali dimungkinkan dibuka kembali sepanjang ada bukti baru (novum).Mahkamah Konstitusi berpendapat apabila dibuka keleluasaan untuk mengajukan peninjauan kembali lebih dari satu kali untuk perkara selain pidana maka akan mengakibatkan penyelesaian perkara menjadi panjang dan tidak akan pernah selesai yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum dan menimbulkan kerugian bagi para pencari keadilan.Jika PK Perdata boleh berkali-kali, maka keadilan dalam perkara selain pidana akan menjadi ancaman yang serius. Sebab keadaan demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus ketidakadilan yang justru bertentangan dengan UUD 1945. Adapun PK kasus pidana, maka diberi peluang PK berkali-kali.Mahkamah berpendapat, pembatasan peninjauan kembali hanya satu kali dalam perkara selain pidana, termasuk perkara perdata, sebagaimana yang diatur Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman adalah konstitusionaMahkamah Konstitusi (MK) menyatakan peninjauan kembali (PK) kasus perdata harus dibatasi. Namun untuk kasus pidana, PK dimungkinkan dibuka kembali sepanjang ada bukti baru (novum).Didalam UU MA tidak diatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata. Akan tetapi, kita dapat merujuk pada penjelasan Pasal 195 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”) sebagai ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut:Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanyaketentuan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”).Putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali dengan alasan sebagai berikut (Pasal 67 UU MA):a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.D. Bagaimana bila salah satu Pihak Melakukan PK pada perkara Perceraian ?Upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali perkara perdata lain, tidak akan banyak menghadapi masalah hukum jika Pihak yang mengajukan Peninjauan Kembali tersebut dimenangkan. Akan tetapi, bagaimana jika Peninjuan Kembali itu terjadi dalam perkara perceraian? Hal ini menjadi menarik untuk dibahas karena berkaitan dengan hasil diskusi Kelompok Bidang Agama (Komisi II) Rakernas Mahkamah Agung di Manado, yang menghasilkan salah satu poin rumusan “Demi kepentingan hukum, maka ikrar talak yang sudah diucapkan di depan sidang pengadilan dapat dibatalkan dengan putusan Peninjauan Kembali”.Bila telah Berkekuatan Hukum Tetap, maka suami isteri tersebut telah diputuskan hubungan perkawinannya, dan mereka dapat melakukan perkawinan baru dengan pihak lain, dilematis akan muncul, bila ada pihak yang mengajukan PK dan dikabulkan majelis hakim, maka pasangan suami isteri tersebut secara yuridis kembali berposisi sebagai pasangan suami isteri yang sah.Permasalahan baru muncul, apabila salah satu pihak ternyata sudah melaksanakan pernikahan dengan orang lain, maka otomatis isteri mempunyai dua suami yang sah dan atau seorang suami mempunyai dua isteri yang sah.Eksekusi perceraian mungkin bisa dimohonkan untuk ditunda atau dilawan, tapi tidak untuk dibatalkan. Hal ini berkaitan dengan asas kepastian hukum. Ikrar talak yang notabene merupakan eksekusi dari putusan cerai talak mempunyai kekuatan yang sama untuk tidak dapat dibatalkan.Usulan dan gagasan : Mahkamah Agung harus buat Surat Edaran dengan perintah kepada Pengadilan Tingkat pertama untuk menunda ikrar talak, jika salah satu pihak mengajukan upaya Peninjauan Kembali sampai putusan Peninjauan Kembali tersebut jatuh. Namun hal ini menemui kendala baru bahwa jangka waktu eksekusi Ikrar Talak hanya 180 hari, jika lewat jangka waktu tersebut maka ikrar talak dianggap tidak dilaksanakan. Hal ini bisa disalah gunakan oleh pihak lawan yang tidak mau diikrarkan untuk langsung mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, dengan asumsi bahwa jangka waktu dari pengajuan permohonan Peninjauan Kembali sampai putusan akan melebihi jangka waktu 180 hari, sehingga ikrar tidak jadi dilaksanakan.Dilematis memang ?, mungkin harus dibuatkan payung hukum perundang-undangan agar ada kepastian hukum bila Permohonan PK dikabulkan Majelis Hakim.
We appreciate you contacting us. Our support will get back in touch with you soon!
Have a great day!
Please note that your query will be processed only if we find it relevant. Rest all requests will be ignored. If you need help with the website, please login to your dashboard and connect to support