Lembaga Bantuan Hukum Waji Has

Karena SE Menaker No.M/3/.04/III/2020 tertanggal 17 Maret dinilai belum memberi solusi dampak Covid-19 bagi pekerja/buruh dan pengusaha.Wabah Covid-19 yang makin meluas berdampak pada hampir seluruh sektor industri. Turunnya jumlah produksi otomatis menurunkan pemasukan yang diperoleh perusahaan. Akibatnya, sebagian pengusaha kesulitan mengelola keuangan termasuk memenuhi kebutuhan biaya operasional. Imbasnya terhadap pemenuhan hak-hak normatif pekerja termasuk PHK massal.Untuk mengatasi ini, Menteri Ketenagakerjaan telah menerbitkan Surat Edaran Menaker No.M/3/HK.04/III/2020 tertanggal 17 Maret 2020 yang ditujukan kepada Gubernur di seluruh Indonesia. Intinya surat ini sebagai pedoman perlindungan buruh dan kebelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19. Namun, SE Menaker itu dirasa belum memadai.Advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, Johan Imanuel menilai dampak pandemi Covid-19 menyulitkan pelaku hubungan industrial baik kalangan pengusaha dan pekerja. Sementara regulasi yang ada saat ini dinilai belum memadai untuk menjawab masalah yang muncul akibat dampak pandemi Covid-19. Pekerja rugi karena tidak mendapat hak-haknya sesuai ketentuan dan pelaku usaha mengalami kerugian dalam usahanya.Seperti, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI); dan beragam peraturan turunannya. “Kementerian Ketenagakerjaan perlu menerbitkan peraturan mengenai perlindungan hukum pelaku hubungan industrial,” kata Johan ketika dikonfirmasi, Jumat (17/4/2020).Bahkan, SE Menaker tertanggal 17 Maret 2020 itu, menurut Johan belum memberi kepastian hukum karena tidak memberi solusi terhadap persoalan yang dihadapi pengusahan dan buruh dan tidak dapat digunakan sebagai acuan dalam praktik penyelesaian hubungan industrial.Menurutnya, yang paling dibutuhkan saat ini yakni perlindungan hukum untuk pelaku hubungan industrial karena tim advokasi banyak menerima pengaduan, antara lain soal pemotongan upah, rencana pemotongan tunjangan hari raya (THR) dengan dalih perusahaan merugi.“Salah satu rekomendasi kami ke Menteri Ketenagakerjaan harus mengambil langkah hukum berupa diskresi untuk menetapkan kebijakan berupa peraturan perundang-undangan, setidaknya dalam bentuk Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) yang bisa melindungi kelangsungan usaha maupun perlindungan hak-hak pekerja/buruh,” kata Johan.Payung hukum perppuSebelumnya, Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI), Ike Farida melihat pemerintah telah menerbitkan sejumlah peraturan terkait Covid-19, diantaranya SE Menaker No.M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Kemudian, Peraturan Presiden No.49 Tahun 2020, Peraturan Menteri Kesehatan No.9 Tahun 2020, SE Menperin No.4 Tahun 2020, Keputusan Gubernur Jakarta No.380 Tahun 2020, dan Peraturan Gubernur Jakarta No.33 Tahun 2020.Dari berbagai peraturan itu, Ike menilai belum ada yang memberi solusi konkrit terhadap nasib pekerja dan pengusaha untuk menghindari PHK. Tanpa maksud mengkritik pemerintah atas lengah dan lambatnya penanganan serta antisipasi pandemi Covid-19, pihaknya mendesak pemerintah untuk tidak melakukan hal yang sama dalam masalah ketenagakerjaan.“Pemerintah jangan lambat dan lengah lagi dalam menangani masalah ketenagakerjaan untuk menghindari terjadinya ‘tsunami’ PHK (PHK massal, red) yang sudah di depan mata,” kata Ike belum lama ini.Ike mencatat pernyataan Menteri Ketenagakerjaan seperti diberitakan sejumlah media yang meminta agar pengusaha menghindari PHK. Sejumlah Langkah perlu ditempuh seperti tidak memperpanjang PKWT, mengurangi upah, dan fasilitas manajer serta direktur, mengurangi shift kerja, membatasi/menghapus kerja lembur, mengurangi jam kerja, mengurangi hari kerja, dan meliburkan atau merumahkan buruh untuk sementara waktu. Sebelum melaksanakan langkah itu tentu saja harus dibicarakan dan disepakati pengusaha dengan serikat pekerja atau wakil pekerja di perusahaan yang bersangkutan.Menurut Ike, sedikitnya ada 4 alasan sulitnya pelaksanaan imbauan yang disampaikan Menteri Ketenagakerjaan itu. Pertama, apakah serikat pekerja mau jika upahnya dikurangi? Upah adalah hak normatif pekerja. Faktanya, besaran bonus yang tidak termasuk kategori hak normatif saja dapat memicu mogok kerja. Kedua, apakah pengusaha mampu membayar upah pekerjanya sekalipun besarannya dikurangi? Padahal perusahaan sudah merugi akibat berhentinya operasional.Ketiga, apa payung hukum imbauan Menteri Ketenagakerjaan itu untuk mempekerjakan pekerja secara paruh waktu? Mengingat UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur kerja paruh waktu. Keempat, sebagian perusahaan tidak dapat melaksanakan kerja dari rumah (work from home) karena tidak ada cantolan hukumnya. Dalam perjanjian kerja, sebagian besar mengartikan defenisi “bekerja” adalah melakukan pekerjaan di area perusahaan.Menurut Ike, pemerintah harus mencari cara bagaimana menghindari PHK, bukan mengurusi pasca PHK. Berbagai program sosial yang disiapkan pemerintah seperti kartu prakerja berpotensi tidak tepat sasaran. Program ini bukan solusi agar tidak terjadi PHK, tapi hanya subsidi dan fasilitas pelatihan untuk meningkatkan kompetensi kerja, bukan untuk menggaji pengangguran.Melansir data Kementerian Ketenagakerjaan per 9 April 2020 Ike menghitung jumlah perusahaan yang merumahkan pekerjanya sebanyak 78.174 perusahaan dengan jumlah pekerja 1.427.067 orang. Ike yakin jumlah data sebenarnya jauh lebih besar daripada yang tercatat Kementerian Ketenagakerjaan karena belum semua perusahaan melapor dan tidak semua pekerja mampu untuk melapor ke dinas ketenagakerjaan atas PHK yang dialaminya.Ike menyebut lembaganya menerima banyak permintaan bantuan hukum dan konsultasi dari kalangan buruh dan pengusaha dengan kasus ketenagakerjaan yang beragam misalnya pekerja mengalami PHK dan pesangonnya tidak dibayar. Guna mencegah terjadinya PHK massal berskala besar, HKHKI mendesak pemerintah untuk segera melakukan setidaknya 3 langkah konkrit.Pertama, pemerintah harus menjamin upah seluruh pekerja akan dibayarkan oleh pemerintah, dan meminta agar pengusaha tidak mencoret pekerjanya dari data perusahaannya. Besaran upah yang dibayar dapat disesuaikan misalnya 60 atau 80 persen. Batas atas upah juga bisa dibatasi besarannya, begitu pula jangka waktunya.Kedua, pemerintah perlu membagikan kebutuhan dasar pokok bagi masyarakat yang wilayahnya diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), terutama bagi yang berpenghasilan rendah dan menengah. Ketiga, menerbitkan Perppu terkait peraturan ketenagakerjaan untuk memberikan payung hukum atas pelaksanaan imbauan Menteri Ketenagakerjaan seperti ketentuan kerja paruh waktu, fleksibilitas PKWT, dan perluasan outsourcing.Bagi Ike 3 usulan HKHKI itu layak dilakukan karena jika pemerintah lengah, PHK massal berskala besar akan sulit dihindari. Paling penting, pekerja dan pengusaha harus diselamatkan karena mereka adalah roda perekonomian. Dengan adanya jaminan upah, menekan tingkat PHK, dan mengatasi penyebaran Covid-19, pekerja akan merasa aman dengan melaksanakan imbauan “dirumah saja.”“Tapi sebaliknya, jika jaminan itu tidak ada, pekerja akan terus hadir dan bekerja (keluar rumah,-red), sehingga PSBB tidak berjalan maksimal.”

Tags

WhatsApp Google Map

Safety and Abuse Reporting

Thanks for being awesome!

We appreciate you contacting us. Our support will get back in touch with you soon!

Have a great day!

Are you sure you want to report abuse against this website?

Please note that your query will be processed only if we find it relevant. Rest all requests will be ignored. If you need help with the website, please login to your dashboard and connect to support